Daily Archives: November 17, 2010

Takengon, The Misty City

Alkisah pada zaman dahulu kala, para tetua adat di Negeri Linge didaerah dataran tinggi Gayo sepakat untuk mencari daerah baru yang akan dijadikan lokasi pemukiman baru bagi anak cucu mereka yang sudah berkembang. Setelah mendaki dan menurungi pegunungan berkabut, mereka menemukan sebuah dataran yang luas yang dikelilingi pegunungan. Berita penemuan lokasi baru itu disampaikan ke majelis adat Linge, dan sang tetua berkata “Takah di Tengon”, atau Dilihat dahulu, apakah lokasi itu baik untuk dijadikan permukiman baru. Dan setelah dilakukan “Takah di Tengon”, para Tetua suku Gayo Linge sepakat untuk membuka hunian baru di pinggiran danau tersebut. Dan Desa “Takah di Tengon” ini kemudian berkembang dan dikenal dengan nama kota Takengon.

Saat ini Takengon merupakan ibukota Kabupaten Aceh Tengah yang merupakan kampung halaman bagi masyarakat Gayo. Kota ini juga disebut dengan kota diatas awan karena sering ditutupi kabut tebal dan untuk mengunjungi kota ini, kita harus melewati jejeran pegunungan di dataran tinggi Gayo.

Disamping selalu diselimuti kabut karena lokasinya yang berada di ketinggian 1.200 mdpl, kota ini juga masih menyimpan sejuta legenda disetiap sudut kotanya dan masih merupakan misteri sampai saat ini. Percaya atau tidak, masyarakat Gayo sangat mempercayai hikayat dan legenda-legenda tersebut dan menghormatinya. Danau Laut tawar yang mistis dan penuh misteri, legenda Putri Hijau, Legenda Putri Pukes, asa muasal Danau Gayo yang terbentuk karena perkelahian antara manusia dengan raksasa, dan sebagainya adalah peninggalan kisah-kisah era Aninisme yang maih terjaga sampai saat ini.

Terlepas dari benar atau tidaknya kisah dan misteri tersebut, kearifan local masyarakat Gayo telah membuat banyak pendatang baik luar datang mengais rejeki di kota ini. Dan Takengon bisa dikatakan sebagai kota teramah di seantero Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Sehingga tak heran Takengon menjadi ikon pariwisata Aceh. Berbeda dengan sebagian besar kota-kota di Aceh yang lebih ramai di malam hari, aktifitas di Takengon lebih banyak dilakukan di siang hari, sedangkan di malam hari nyaris sepi karena memang udara malam yang sangat dingin dan penduduk lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Disamping dikenal sebagai penghasil Kopi Gayo yang nyaris diambil patennya oleh Amerika, Takengon juga memilii hasil alam yang khas dan unik, seperti Nenas takengon yang rasanya sangat manis seperti madu, ikan Depik khas danau laut tawar, Takengon juga terkenal akan kuda yang menjadi tradisi masyarakat lokal dan menjadi simbol status sosial masyarakatnya. Setiap tahun diadakan lomba pacuan kuda yang dihadiri oleh masyarakat Gayo yang tersebar di beberapa kabupaten di dataran tinggi Gayo, Aceh.

Akan tetapi konflikhorizontal dan masalah keamanan telah menenggelamkan kota ini kembali kedalam kabut dan misterinya. Takengon hamper jarang disebut-sebut dalam peta pariwisata Indonesia. Bahkan tak banyak yang tahu bahwa kota ini menyimpan sejuta pesona keindahan, kuliner, keunikan, budaya dan keramah tamahan khas Gayo yang begitu menawan.

Ketika keamanan dan konflik bersaudara di Aceh telah reda, Takengon mencoba bangun dari tidurnya, dan geliat pembangunan telah membuat Takengon semakin cantik ditengah kabut yang selalu setia menemaninya. Senyum para bujang dan gadis Gayo yang terkenal akan pesonanya, siap menyambut para penikmat alam  dan keaslian budaya lokal yang luhur. Selamat datang di Takengon, The Misty City (Bot Sosani, 17 November 2011)

Categories: Uncategorized | 11 Komentar

Blog di WordPress.com.